Saturday, March 15, 2008

Tempo tentang Masuknya Murduch di ANTEVE


http://www.anindyabakrie.biz/index.php?option=com_content&task=view&id=72&Itemid=2

ADU GESIT DI LAHAN SEMPIT
Sunday, 23 October 2005

Masuknya Murdoch bakal mengubah peta bisnis televisi di Indonesia. Setengah dari 10 stasiun TV nasional yang ada sekarang diperkirakan sulit bertahan.

SERBUAN itu akhirnya datang juga. Raja televisi dunia, Rupert Murdoch, sejak awal bulan ini resmi mengantongi 20 persen saham ANTV, stasiun televisi milik keluarga Bakrie.
    Berita masuknya pemodal asing ke ranah bisnis televisi domestik sebetulnya bukan hal baru. Sudah selama beberapa tahun terakhir para investor asing menanamkan duitnya di stasiun televisi lokal.
    Hanya, selama ini belum ada yang terang-terangan seperti Murdoch. Investasi pun dilakukan tak langsung, tapi lewat induk perusahaan pengelola stasiun televisi.
    Siasat ini diterapkan untuk mengakali ketentuan Undang-Undang Penyiaran. Sebab, dalam aturan itu digariskan, kepemilikan asing secara langsung di televisi lokal hanya dibatasi 20 persen.
    Murdoch masuk ANTV lewat StarTV, unit usahanya yang bermarkas di Hong Kong. Kabarnya, untuk bisa menguasai 20 persen saham PT Cakrawala Andalas Televisi, pengelola stasiun televisi ANTV, dana yang dicurahkan StarTV sedikitnya US$ 20 juta – sekitar Rp 200 miliar.
     "Ini merupakan investasi bersama," kata Direktur Utama ANTV, Anindya Noverdian Bakrie. Saham yang dibeli pun merupakan saham baru. Karena itu, menurut putra sulung Menteri Perbusinessan Aburizal Bakrie ini, dana itu sepenuhnya masuk ke perusahaan – bukan ke kantong para pemegang saham.   
      ANTV layak mensyukuri keberhasilannya menggaet Murdoch. Sebab, tiga tahun lalu stasiun TV ini hampir bubar. Utangnya saat itu mencapai Rp 1,4 triliun. Utang obligasi dolar ke kreditor asing dan utang bank mencapai Rp 1,2 triliun, dan utang ke mitra dagang Rp 200 miliar.
    Untuk keluar dari jepitan utang, manajemen ANTV menawarkan proposal perdamaian ke para kreditor dalam sidang di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, Juli 2002. beruntung, hampir seratus persen kreditor setuju mengkonversi piutangnya menjadi kepemilikan saham. Sedangkan pelunasan utang dagang dicicil lima tahun.
    Konsekuensinya, porsi saham PT Bakrie Investindo dan pT Capital Management Asia (CMA) Indonesia milik Anindya tergerus. Namun, CMA diminta tetap mengelola ANTV, berikut porsi saham kreditor yang totalnya mencapai 83 persen.
    CMA juga sepakat menyuntikkan modal kerja. "Sejak itulah ANTV tak lagi terbebani utang," kata Anindya. Kinerja keuangannya pun terus membaik. "Pendapatan kami tahun ini tumbuh 600 persen bila dibandingkan dengan tahun  2002."
    Masuknya Murdoch kian menandakan serbuan pemodal dan media asing ke Indonesia tak mungkin bisa dihindari. "Kita tak bisa lagi terkungkung oleh pandangan nasionalisme sempit," kata bos Para Group, Chaerul Tanjung, pemilik Trans TV.
    Lontaran serupa disampaikan Hary Tanoesudibjo, bos Grup Bimantara, yang menguasai tiga stasiun TV: RCTI, TPI, dan Global TV, lewat bendera PT Media Nusantara Citra.
    Namun, Ketua Dewan Redaksi RCTI ini berpendapat, kepemilikan asing di perusahaan media tetap harus dibatasi. "Di negara mana pun ini dilakukan," ujarnya. Tapi beredar kabar, StarTV masih akan terus menambah porsi sahamnya hingga 51 persen.
    "Bila melihat record-nya selama ini, dia memang tidak pernah mau jadi pemegang saham minoritas," kata H.B. Naveen, Presiden Direktur Mediate, unit usaha PT Bhakti Investama kepunyaan Hary.
    Jika anggapan itu benar, tentu tambahan porsi saham harus dilakukan Murdoch lewat perusahaan perantara (nominee), atau berinvestasi tidak langsung lewat perusahaan induk baru ANTV. Sebab, hanya cara ini yang tidak melanggar Undang-Undang Penyiaran yang membatasi kepemilikan asing.
    Juru bicara StarTV, Jannie Poon, menampik sinyalemen itu. "Cukup 20 persen," katanya kepada Tempo. Lagipula, Anindya menambahkan, "Di India dan Cina, StarTV pun pemegang saham minoritas."
    Meski begitu, Murdoch tampaknya tak akan setengah hati dalam upaya melebarkan sayap bisnisnya di Indonesia. Apalagi, ini proyek pertamanya di stasiun televisi berdaya jangkau nasional.
    Tak mengherankan, Anindya pun menyebutkan bahwa StarTV masih akan menyuntikkan tambahan modal kerja buat ANTV. "Plus tenaga ahlinya." Jadi, sudah jelas, ancaman serius terhampar di depan mata bagi sembilan televisi lokal lainnya.
    Bukannya apa-apa. News Corp, perusahaan induk milik Murdoch, total pendapatannya setahun mencapai US$ 24 miliar (sekitar Rp 240 triliun). Nilai investasinya di ANTV pun tak ada artinya bila dibandingkan dengan akuisisi perusahaan game dan hiburan di Amerika Serikat, IGN Entertainment, oleh News Corp baru-baru ini, yang mencapai US$ 650 juta (sekitar Rp 6,5 triliun).

LUASNYA pangsa pasar televisi Indonesia, dengan jangkauan penonton yang diperkirakan mencapai 180 juta orang – tertinggi ketiga di Asia – memang merupakan lahan bisnis yang menggiurkan bagi para pemodal asing.
    Apalagi, pertumbuhan iklan televisi di Indonesia mencapai 30 persen per tahun. Untuk tahun lalu saja, jumlahnya mencapai Rp 15,4 triliun atau hampir 70 persen dari total iklan media massa.
    Sebelum mencapai kata sepakat dengan ANTV, Murdoch kabarnya sempat bernegosiasi dengan TV7 dan Trans TV. "Tapi tidak tercapai deal," ujar sumber Tempo. Chaerul Tanjung membenarkan, Trans TV pernah didekati StarTV. "Tapi itu sudah setengah tahun lalu," katanya. Direktur Pemberitaan TV&, Bambang Sukartiono, pun tak menampiknya. "Lirik kanan-kiri itu kan biasa," ujarnya kepada Agriceli dari Tempo.
    Perusahaan televisi asing yang kini juga sedang mengincar publik Indonesia adalah TV3. perusahaan asal Malaysia yang berinduk di ke Media Prima Berhad – pemilik 43 persen saham New Straits Times – ini bahkan telah melakukan uji tuntas atas rencana pembelian Lativi.
    Stasiun televisi kepunyaan bos Pasaraya, Abdul Latief, itu kini memang tengah dijajakan Bank Mandiri. Langkah itu ditempuh setelah Lativi, sejak pertengahan 2003 lalu, tak bisa lagi membayar cicilan kreditnya senilai Rp 350 miliar (plus bunga sekarang mencapai Rp 450 miliar).
    Menurut Sekretaris Perusahaan Bank Mandiri, Ekoputro Adijayanto, proses negosiasi masih berlangsung. "Sekarang masih dalam tahap tawar-menawar," katanya. Karena itu, Kepala Hubungan Kemasyrakatan Lativi, Raldi Doy, memperkirakan hasil akhir rencana akuisisi baru bisa dilansir akhir tahun nanti.
    Selain TV3, calon investor lain yang juga pernah menjajaki kemungkinan pembelian Trans TV. Hanya, kata Ekoputro, "Pembicaraannya belum sampai ke level seperti TV3."
    Chaerul mengakui, ia pernah ditawari menjadi investor di Lativi. "Tapi belum ada langkah lebih jauh," ujarnya. Menurut sumber Tempo, Trans TV memang tak sepakat dengan metode transaksi yang ditawarkan. "Trans TV baru mau masuk jika kredit macet Lativi telah direstrukturisasi Bank Mandiri," katanya.
    Trans TV sendiri, kabarnya, baru-baru ini didekati Grup Salim untuk di merger dengan stasiun televisi Indosiar. Bahkan ada rencana nantinya digabungkan dengan Lativi jika stasiun televisi ini jadi dibeli Trans TV.
    Namun, menurut bankir investasi yang enggan disebut namanya, Chaerul masih belum sepakat soal penghitungan nilai aset Trans TV. Ia pun ingin, jika dilakukan penggabungan, kendali menejemen ada di tangan Trans TV.
    Kemungkinan merger di antara kedua stasiun televisi ini bisa jadi bukan isapan jempol. Sebab, Salim, yang kini masih menguasai langsung sekitar 28 persen saham di Indosiar, disebut-sebut juga punya kepemilikan saham di Para Group, induk Trans TV.
    Tali persahabatan antara Salim dan Chaerul pun sudah terjalin lama. "Hubungan saya dengan Pak Anthoni Salim baik sekali," kata Chaerul. Ia mengaku pernah membantu Salim menyediakan dana talangan ketika Bank Central Asia di-rush pada 1998. "Betul, nilainya triliunan rupiahlah," ujarnya.
    Meski begitu, ia menyangkal telah ada pembicaraan tentang rencana penggabungan kedua stasiun televisi itu. "Kami saling menjaga privasi masing-masing," ucapnya. Ia pun membantah kepemilikan Salim di Para Group maupun di Bank Mega.
    Hubungan bisnisnya dengan Salim, kata Chaerul, sebatas pada proyek properti di Batam dan di bisnis jasa kesehatan di Singapura. Tapi, "Selain itu, kami kini sedang menjajaki kemungkinan-kemungkinan lainnya."
    Direktur Keuangan Indosiar, Phiong Phillipus, menegaskan sejauh ini belum pernah ada pembicaraan langsung soal rencana merger. Menurut bekas Direktur Keuangan PT Indocement Tunggal Perkasa ini, spekulasi itu bisa jadi karena, "Banyak pegawai Indosiar yang ditarik oleh Pak Ishadi (Direktur Trans TV)."
    Lepas dari benar-tidaknya kabar itu, Naveen memperkirakan fenomena merger cepat atau lambat tetap akan terjadi. Alasannya, meski nilai iklan terus tumbuh dan pangsa pasar TV sangat lebar, kue iklan yang ada tak cukup besar untuk diperebutkan oleh 10 televisi berskala nasional. Padahal, biaya investasi dan operasional sebuah televisi nasional sangatlah besar.
    Karena itu, kata Naveen, "Tiga sampai empat televisi sudah paling banyak." Di negara-negara lain pun tak ada televisi nasional sebanyak Indonesia. "Kebanyakan TV kabel atau TV regional."
    Chaerul sepakat soal ini. Seleksi alamiah, menurut dia, akan terjadi dengan sendirinya. Dia memperkirakan, televisi nasional yang bisa hidup hanya yang bisa bertahan di posisi lima besar. "Di bawah itu, sulit."

Jannie Poon, Juru Bicara STAR TV:
Cukup 20 Persen
ASET raja media asal Australia, Keith Rupert Murdoch, bertambah satu. Lewat anak perusahaannya, Satellite Television for Asian Region (STAR TV) yang berbasis di Hong Kong, taipan 74 tahun ini telah membeli 20 persen saham di ANTV.
    STAR TV adalah salah satu tambang uang bagi kelompok usaha News Corporation milik keluarga Murdoch. Perusahaan ini dibelinya pada 1993 dari Hucthison Whampoa milik Richard Li, putra miliuner Hong Kong, Li Ka-Shing. Wendi Deng, istri ketiga Murdoch yang terpaut usia 40 tahun dengannya, pernah menjadi eksekutif STAR TV.
    Jaringan STAR TV memiliki 50 stasiun televisi kabel dan satelit di 53 negara Asia. Disajikan dalam delapan bahasa, programnya dinikmati oleh tak kurang dari 300 juta orang. Di Indonesia, saluran televisi kabel dan satelit STAR TV pun sudah lama masuk. Sebut saja ESPN, Star Sports, Star Movies, Channel V International, Fox News, dan Sky News.          
    Untuk mengetahui rencana STAR TV di ANTV, wartawan Tempo, Efri Ritonga, mewawancarai juru bicara STAR TV, Jannie Poon, yang berada di Hong Kong melalui sambungan telepon internasional Kamis pekan lalu.
    Mengapa STAR TV tertarik membeli ANTV?
    STAR TV tidak asing dengan pasar Indonesia karena punya pengalaman dalam pengelolaan televisi berlangganan. Indonesia sangat potensial karena memiliki populasi besar, business yang kami percaya akan bangkit kembali, dan masyarakatnya sangat menyukai hiburan. Kebetulan, saat kami mencari mitra di Indonesia, ANTV juga sedang mencari mitra.
    Siapa yang terlibat dalam negosiasi ini?
    Banyak orang dari departemen yang berbeda, seperti bagian legal dan keuangan. Chief Executive Officer STAR TV, Michelle Guthrie, dan Chief Operating Officer, Steve Askew, terlibat langsung.
    Murdoch terlibat aktif?
    Tidak – tapi tentu saja dia tahu prosesnya.
    Ada rencana menambah saham di ANTV?
    Kami tidak berencana membeli lebih banyak saham lewat perusahaan induk atau cara lainnya. Cukup 20 persen. Itu batasan yang diatur dalam regulasi di Indonesia. Kami sangat mematuhi peraturan, tentunya, hahaha…
    Apa yang akan dilakukan di ANTV?
    Saat ini masih terlalu dini untuk membicarakan perubahan program dan perwajahan ANTV. Tapi, sekitar dua hingga tiga bulan lagi, saya yakin akan ada perubahan konkret.
    Perubahan besar-besaran?
    Saya tidak yakin. Kalau yang berjalan selama ini sudah bagus, untuk apa diubah? Kalau memang ada yang perlu ditingkatkan, tentu akan kami tingkatkan. Kami juga mempelajari apa yang dilakukan kompetitor, dan menyiapkan strategi untuk ANTV.
    Apa strateginya?
    Secara umum adalah meningkatkan kualitas program sehingga mengundang iklan yang banyak. Karena itu, dalam waktu dekat target kami bukan menjadikan ANTV nomor satu atau nomor dua, tapi memperbaiki kualitas program.
    STAR TV akan menaruh orang di manajemen ANTV?
    Kami belum memutuskan sejauh itu. Yang pasti, kami telah mengirim tim yang terdiri dari lima tenaga ahli dari Hong Kong. Mereka bertugas memahami bagaimana ANTV bekerja, sekaligus membagi keahlian di bidang produksi, program, pasca produksi, rekayasa, dan promosi.
    Apakah ANTV akan dijadikan outlet produk-produk STAR TV?
    Tidak. Kami akan memberdayakan perancang progra Indonesia. Tidak mungkin mengimpor program dari STAR TV, sebab tidak akan diterima oleh penonton di Indonesia. Apa yang lucu di Hong Kong belum tentu lucu di Indonesia, bukan?

Perolehan Iklan Televisi*
RCTI        2,491        SCTV        2,102
Indosiar    1,795        Trans TV    1,785
TV7        1,723        TPI        1,642
ANTV        1,404        Global TV    1,398
Metro TV    1,382        Lativi        1,348
* Perhitungan kotor, belum memperhitungkan diskon. Januari 2004-September 2005 (dalam triliunan rupiah). Sumber: AC Nielsen Adwatch1

SUMBER: TEMPO, 23 OKTOBER 2005 



--
Tribun Timur,
Surat Kabar Terbesar di Makassar
www.tribun-timur.com

No comments: